Tuesday, May 29, 2007

Pencemaran Pestisida, Dampak dan Upaya Pencegahannya; Adistya Prameswari., S.Pi., M.Kes

PENCEMARAN PESTIDA,
DAMPAK DAN UPAYA PENCEGAHANNYA
Oleh : Adistya Prameswari., S.Pi


ABSTRACT


Now days, globalization and country development has big contribution to environmental interference and we have become accustomed to natural resources exploitation. Human activity always producing gas, liquid, and solid wastes. It will threaten the environment if there are not appropriate treatment.

One of the hazardous material is pesticide. It is use to exterminate plant disease, insect, pest, and plaque caused by the plant hopper. Pesticide is common use for plant, animal, etc. For pesticide management it is necessary to regulate pesticide using. it is must be safe for operator, plant, and environment.
key words : Pesticide, environment, pesticide management


PENDAHULUAN


Perkembangan serta peningkatan pembangunan nasional Indonesia didukung dengan meningkatnya sektor industrialisasi, yang tentu memerlukan ketersediaan sarana-sarana yang mendukung lancarnya proses industrialisasi itu sendiri, dan salah satu cara adalah dengan meningkatkan sektor pertanian.
Sektor pertanian merupakan sektor andalan di Indonesia, bahkan juga di dunia. Fakta bahwa daerah iklim di bumi berdasarkan pada banyaknya sinar matahari yang masuk terbagi menjadi 4, yaitu:



  1. Daerah iklim tropis, 0o – 23,5o LU/LS

  2. Daerah iklim sub tropis, 23,5o – 40o LU/LS

  3. Daerah iklim sedang, 40o – 66,5o LU/LS

  4. Daerah iklim dingin, 0o – 23,5o LU/LS

Hanya 27% daerah di bumi ini memiliki iklim tropis. Iklim tropis hanya mengalami 2 musim sepanjang tahunnya, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Dengan hanya mengalami 2 musim, maka daerah dengan iklim tropis dapat melakukan kegiatan bercocok tanam sepanjang tahun. Luas wilayah Indonesia adalah sebesar 11% dari 27% total wilayah dengan iklim tropis. Dengan fakta tersebut diatas maka Indonesia selayaknya dapat menjadi gudang pangan dunia. Indonesia bisa melakukan kegiatan bercocok-tanam sepanjang tahunnya. Namun, pada kenyataannya potensi Indonesia, dimana seharusnya dapat mensuplai pangan baik dalam maupun luar negeri, belum bisa memanfaatkan potensi tersebut dengan baik. Kenyataan yang terjadi di Indonesia saat ini, banyaknya busung lapar, mayoritas masyarakat Indonesia memiliki penghasilan dibawah rata-rata, masih banyak desa-desa tertinggal dan Indonesia mengimport beberapa komoditas pertanian guna mencukupi kebutuhan pangan Indonesia. Melihat kenyataan yang terjadi di Indonesia khususnya pada sektor pertanian, maka ada sesuatu yang salah yang terjadi pada komoditas hasil panen dan juga lahan pertanian Indonesia. Untuk itu, perlu kita mencari beberapa faktor yang memungkinkan turunnya produktivitas baik secara kuantitas maupun kualitas dari produk pertanian Indonesia.
Sektor pertanian memerlukan berbagai sarana guna mendukung agar dapat tercapainya hasil yang memuaskan dan terutama dalam mencukupi kebutuhan nasional di bidang pangan/ sandang dan juga dapat meningkatkan perekonomian di Indonesia, yaitu dengan cara mengekspor hasil ke luar negeri.
Beberapa sarana yang mendukung pertanian antara lain Alat-alat pertanian, Pupuk buatan ( Urea, TSP, NPK, Za dan sebagainya), bahan-bahan kimia tambahan, termasuk didalamnya pestisida. Menurut http://www.pusri.co.id/, (2006) bahan-bahan kimia yang sering digunakan pada lahan pertanian antara lain :



  1. Amoniak (NH3), biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk Za, Urea dan Phonska.

  2. Nitrat (NO3), merupakan bahan kimia untuk pembuatan pupuk Urea, ZA, PHONSKA,

  3. Amonium nitrat (AN), Calsium Amonium Nitrat (CAN), Diamonium Phosphate (DAP),

  4. Monoamonium Phosphate (MAP dalam bentuk Asam nitrat, amonium nitrat.

  5. Nitrit, bahan baku pembuatan pupuk buatan.

  6. Phospat, Asam fosfat merupakan bahan baku untuk pembuatan pupuk SP-36.

  7. Sulfat (H2SO4), merupakan bahan baku untuk pembuatan pupuk ZA dan SP-36.

Pestisida, ”Pest Killing Agent” merupakan obat-obatan atau senyawa kimia yang umumnya bersifat racun, digunakan untuk membasmi jasad pengganggu tanaman, baik hama, penyakit maupun gulma.
Pemberian tambahan pestisida pada suatu lahan, merupakan aplikasi dari suatu teknologi yang pada saat itu, diharapkan teknologi ini dapat membantu meningkatkan produktivitas, membuat pertanian lebih efisien dan ekonomis. Namun, pestisida dengan intensitas pemakaian yang tinggi, dan dilakukan secara terus-menerus pada setiap musim tanam akan menyebabkan beberapa kerugian, antara lain residu pestisida akan terakumulasi pada produk-produk pertanian dan perairan, pencemaran pada lingkungan pertanian, penurunan produktivitas, keracunan pada hewan, keracunan pada manusia, berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Manusia akan mengalami keracunan, baik akut maupun kronis yang berdampak pada kematian.
Bahan-bahan kimia, telah dapat dibuktikan dengan nyata dan jelas memberi dampak buruk, dalam hal ini pestisida. Negara-negara di dunia yang sedang berkembang, yang mencakup kebutuhannya sendiri dalam bidang pangan/ sandang, penggunaan bahan-bahan kimia pada pertanian dianggap membantu pada kemajuan dan perkembangan pertanian selanjutnya. Namun, pada negara-negara berkembang, telah sadar benar bahwa bahan kimia justru sebagai penyebab utama terjadinya pencemaran lingkungan. Oleh karena itu negara berkembang telah mengurangi penggunaan bahan kimia, dan lebih menyukai produk-produk pertanian yang organik/ bebas bahan kimia, serta ramah lingkungan (Ton, 1991).
Namun, di Indonesia menerapkan budidaya pertanian yang ramah lingkungan/ organik, masih dirasa sulit. Adapun kendala-kendala yang terjadi, antara lain:



  1. Belum terjangkaunya harga untuk bahan-bahan tambahan organik, oleh petani.

  2. Budidaya pertanian dengan menggunakan bahan dan produk organik membutuhkan penanganan yang lebih serius dan telaten.

  3. Faktor lahan yang bersifat hamparan, di satu petak murni menggunakan organik, namun petak yang bersebelahan tetap menggunakan bahan tambahan kimia, dalam hal ini pestisida kimia. Secara tidak langsung pestisida tersebut masuk ke dalam lahan yang organik dan mencemari lahan tersebut.

  4. Tanaman yang tidak menggunakan pestisida sama sekali lebih rentan untuk terserang hama dan penyakit. Hal ini mengakibatkan rendahnya produksi.

  5. Produk pertanian kurang awet, mudah busuk.

  6. Tingginya biaya operasional dan rendahnya hasil produksi (tonase) menyebabkan tingginya harga jual produk hasil pertanian organik. Hal tersebut, menyebabkan produk tidak bisa mendapatkan pasar lokal.

Melihat dari fakta dan dilema di masyarakat Indonesia, untuk itu, perlu diketahui peranan, pengaruh serta penggunaan pestisida secara baik dan benar, sehingga tidak akan menimbulkan pencemaran pada lingkungan pertanian, dan juga kesehatan manusia serta lingkungannya.


PENGERTIAN PESTISIDA


Definisi dari pestisida, ”pest” memiliki arti hama, sedangkan ”cide” berarti membunuh, sering disebut ”Pest Killing Agent”. Adalah semua bahan yang digunakan untuk:



  1. Membunuh

  2. Mencegah

  3. Mengusir

  4. Mengubah hama.

  5. Dan atau, bahan yang digunakan untuk:

  6. Merangsang

  7. Mengatur

  8. Mengendalikan tumbuhan.

Pestisida dalam praktek penggunaannya digunakan bersama-sama dengan bahan lain misalnya dicampur minyak untuk melarutkannya, air pengencer, tepung untuk mempermudah dalam pengenceran, penyebaran dan penyemprotannya. Adapun bubuk yang dicampur sebagai pengencer (dalam formulasi dust), atraktan (misal bahan feromon) untuk pengumpan, bahan yang bersifat sinergis untuk menambah daya racunnya, dan lain sebagainya (Tarumingkeng, 1992).


KLASIFIKASI PESTISIDA


Menurut Soemirat (2003), pestisida dapat diklasifikasikan berdasarkan organisme target, struktur kimia, mekanisme dan atau toksisitasnya.
Klasifikasi berdasarkan organisme targetnya, adalah:



  1. Insektisida berfungsi untuk membunuh atau mengendalikan serangga.

  2. Herbisida berfungsi untuk membunuh gulma.

  3. Fungisida berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan.

  4. Algasida berfungsi untuk membunuh alga.

  5. Avisida berfungsi untuk membunuh burung serta pengontrol populasi burung.

  6. Akarisida berfungsi untuk membunuh tungau atau kutu.

  7. Bakterisida berfungsi untuk membunuh atau melawan bakteri.

  8. Larvasida berfungsi untuk membunuh larva.

  9. Molusksisida berfungsi untuk membunuh siput.

  10. Nematisida berfungsi untuk membunuh cacing.

  11. Ovisida berfungsi untuk membunuh telur.

  12. Pedukulisida berfungsi untuk membunuh kutu atau tuma.

  13. Piscisida berfungsi untuk membunuh ikan.

  14. Rodentisida berfungsi untuk membunuh binatang pengerat.

  15. Presida berfungsi untuk membunuh pemangsa atau predator.

  16. Termisida berfungsi untuk membunuh rayap.

Klasifikasi pestisida berdasarkan ketahanannya di lingkungan, maka pestisida dapat dikelompokkan atas dua golongan yaitu:
Resisten, dimana pestisida meninggalkan pengaruh terhadap lingkungan. Pestisida organochlorine, termasuk pestisida yang resisten pada lingkungan dan meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui rantai makanan, contohnya DDT, Cyclodienes, Hexachlorocyclohexane (HCH), endrin.
Kurang Resisten, adalah pestisida yang mempunyai pengaruh efektif hanya sesaat saja, dan cepat terdegradasi di tanah. Pestisida organofosfate merupakan pestisida yang kurang resisten, contoh Disulfoton, Parathion, Diazinon, Azodrin, Gophacide, dan lain-lain (Sudarmo, 1991).
Departemen Kesehatan (1998), menyatakan bahwa persentase penggunaan pestisida di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Insektisida 55,42 %.
2. Herbisida 12,25 %.
3. Fungisida 12,05%.
4. Repelen 3,61%.
5. Bahan pengawet kayu 3,61%.
6. Zat pengatur pertumbuhan 3,21%.
7. Rodentisida 2,81%.
8. Bahan perata/ perekat 2,41%.
9. Akarisida 1,4%.
10. Moluskisida 0,4%.
11. Nematisida 0,44%.
12. Ajuvan serta lain-lain berjumlah 1,41%.


PESTISIDA UNTUK PERTANIAN DAN DAMPAK TERHADAP KESEHATAN


1. Insektisida
Pestisida dengan jenis insektisida memiliki angka presentase tertinggi di Indonesia. Hal ini dikarenakan pemakaiannya untuk lahan pertanian. Pestisida dengan jenis insektisida ini dapat diklasifikasikan atas dasar rumus kimia, mekanisme kerja dan jenis racun.
Menurut Ecobichon, dalam Ruchirawat (1996), klasifikasi insektisida berdasarkan rumus kimianya:
1. Organochlorin, golongan ini terdiri atas ikatan karbon, klorin, dan hydrogen. Insektisida jenis ini masih digunakan di negara-negara yang sedang berkembang terutama pada daerah ekuator, karena murah, daya kerja yang efektif dan sifatnya yang resisten. Organochlorin dibagi dibagi dalam beberapa bagian :
a. Dichlorodifenil etan, misal DDT, DDD, portan, metasichlor dan metiochlor.
b. Siklodin, misal aldrin, dieldrin, heptachlor, chlordane dan endosufan.
c. Sichloheksan benzene terklorinasi, antara lain HCB, HCH
Sedangkan gejala keracunan akut dan kronis akibat Organochlorin dapat dilihat pada Tabel 1 berikut
Tabel 1. Gejala Keracunan Akut dan Kronis akibat Organochlorin
Kelas Insektisida
Gejala Akut
Gejala Khronis
Diklorodifeniletan
DDT
DDD
DMC
Dicofol
Methoksiklor
Klorbenzilat
Paresthesia, ataksia, berjalan tidak normal, pusing, sakit kepala, mual, lemah, letargi, tremor
Kehilangan berat badan, napsu makan berkurang, kurang darah, tremor, otot lemah, pola EEG berubah, hipereksitabilitas, cemas tekanan saraf
Heksaklorosiklohexane
Lindane ( isomer gamma )
Benzene ( hexakloride mixed isomer )
Pusing, sakit kepala, mual, muntah, motor hiopereksitabilitas hipereflexia, kejang otot, rasa sakit menyeluruh, kejang – kejang, umumnya sawan
Pusing, sakit kepala, hipereksitabilitas, hiperrefleksia, kejang otot, psikologis, termasuk insomnia, cemas, irritabilitas, pola EEC berubah, kehilangan kesadaran, epilepsi, sawan.
Siklodin
Endrin
Telodrin
Isodrin
Endosulfan
Heptachlor
Aldrin
Dieldrin
Klordane
Toxafene
Klordekon ( kepone )
Hirex
Rasa sakit pada dada, arthralgia, iritasi kulit, ataxia, tidak ada koordinasi, bicara kurang jelas, penglihatan terganggu, kehilangan memori terkini, depresi, kelemahan pada otot, tremor pada tangan, spermatogenesis sangat terganggu
Sumber: Ecobichon dalam Ruchirawat & Shank, 1996.
Gambar 1. Struktur kimia Organochlorin
2. Organofosfat, golongan ini terdiri dari ikatan karbon dan fosfat.
Gambar 2. Struktur Kimia Organofosfat
Karbamat
Gambar 3. Struktur Kimia Karbamat
4. Piretroid, terbagi menjadi dua jenis :
a. Piretroid alam, Piretrum merupakan insektisida alami terbuat dari ekstrak bunga chrysantheum, Phyretrum cinerariaefollium (Dalmatian insect flower). Insektisida ini sangat efektif. Merupakan racun syaraf, meskipun toksisitasnya jarang terlihat pada mamalia. Gejala keracunan akibat piretroid ini adalah parestesia (kebal, kesemutan pada kulit), eksitasi saraf, tremor, konvulsi, paralisis dan kematian.
b. Piretroid sintetik, sintetik ester dapat dibagi menjadi 2 sub golongan yang didasarkan pada struktur dan gejala keracunan, yaitu :
1) Tipe pertama (T sindrom) Alletrin, Tetrometrin dan Phenotrin, dimana efek yang dihasilkan menyerupai efek DDT.
2) Tipe kedua (CS Sindrom) semua ester mengandung sianida, seperti Fenvolerat, Deltametrin dan Cifenometrin (S 2703), (Soemirat, 2003).
Gambar 4. Struktur Kimia Piretroid
Jenis dan efek dari Pestisida jenis Insektisida Piretroid dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Jenis dan Efek Piretroid
No
Piretroid Tipe I
Sindrom T
Piretroid Tipe I
Sindrom CS
1
Hipereksitasi
Hipersensitif
2
Ataxia
Koreoatetosis dengan air liur
3
Sawan
Tremor
4
Paralisis
Paralisis
5
Menyebabkan penyaluran saraf terus menerus
Menyebabkan depolarisasi
Sumber: Soemirat, 2003.
Klasifikasi insektisida berdasarkan mekanisme kerjanya:
1. Organoklorin dan piretroid
2. Organofosfat dan karbamat. Jenis insektisida ini sering disebut sebagai insektisida antikolinesterase, karena keduanya memiliki efek yang sama dalam sistem syaraf (perifer dan pusat), walaupun masing-masing memiliki ikatan dan struktur kimia yang berbeda. Gejala keracunan insektisida jenis organofosfat, dijelaskan pada Tabel 3.
Tabel 3. Gangguan Keracunan Organofosfat
Jaringan saraf dan reseptor
Tempat
Manifestasi
Parasimaptik dan otonom (reseptor muskarinik) paska ganglionik neuron
Kelenjar exocrine Mata
Peningkatan kelenjar ludah, kelenjar air mata, berkeringat, miosis, ptosis, penglihatan kabur, konjunctiva merah, air mata berdarah
Saluran pencernaan
Mual, muntah, sakit tulang belakang, diare, buang air tidak menentu, pembekakan dan kram, tenesmus
Saluran pernafasan
Excessive bronchial secretion, rhinorrhea, wheezing, pembengkakan, dada tertekan, bronchospasms, bronchoconstriction, batuk, bradypnea, dypspnea.
Sistem Kardiovaskuler
Detak jantung menurun, penurunan tekanan darah
Ginjal
Frekuensi pengeluaran urin tidak kontinyu
Saraf otonom parasimpate-tik dan simpatetik nikotinik, saraf somatic / motorik nervefibers nikotinik
Sistem Kardiovaskuler
Tachycardia, pallor, kenaikan tekanan darah
Otot kerangka
Fasikulasi otot ( kelopak mata , otot wajah yang kaku ), kram, penurunan refleks pada tendon, kelemahan pada otot , pada perifer dan paralisis otot pernafasan, kaku atau lemas, tidak tenang, reaksi motorik secara umum pada stimuli akustik, tremor, emosi labil, dan ataxia.
Otak ( reseptor asetilkoline )
Sistem syaraf pusat
Mengantuk, lemah, bingung, tidak dapat konsentrasi , sakit kepala, tekanan pada kepala, kelemahan menyeluruh, coma tanpa reflek, tremor, respirasi cheyne-stokes, dispnea, konvulsi, depresi pada pusat pernafasan, sianosis.
Sumber: Ecobichon dalam Ruchirawat, 1996.
Sedangkan klasifikasi insektisida berdasarkan jenis racunnya yaitu:
1. Racun sistemik yaitu racun yang dapat menimbulkan keracunan di seluruh tubuh.
2. Racun kontak yaitu racun yang dapat diserap bila ada kontak kulit dengan insektisida.
Klasifikasi insektisida ditinjau dari mekanisme terjadinya efek, dapat dilihat pada Tabel 4 berikut
Tabel 4. Klasifikasi Insektisida Ditinjau dari Mekanisme Terjadinya Efek
Kelas
Sub – Golongan
Mekanisme terjadinya Efek
Organoklor
Tipe DDT
Umumnya terjadi pada perifer pada sistem saraf sensor. Menghasilkan negatif potensial yang lama dengan menginhibisi enzim, yang diperlukan untuk transport ion, hasilnya adalah resisten depolarisasi
Siklodin, derivativ sikloheksan
Umumnya terjadi pada SSP dengan menginhibisi ion transport enzim dan memblok GABA, termasuk dalam transport klorida, menghasilkan ikatan polar yang resisten.
Piretroid
Piretroid alamiah
Sama dengan piretroid buatan dibawah, tetapi juga menyebabkan reaksi alergi
Piretroid buatan tipe I
Menghasilkan potensial negatif lebih lama, sebagian dari sistem perifer saraf, hampir sama dengan DDT. Inhibisi transport, menyebabkan ikatan polar yang resisten. Juga menginhibisi GABA disebabkan transport Klorida
Piretroid buatan tipe II
Perbedaan antara tipe I dan tipe II ester adalah pada kekuatan dan durasi inhibisi enzim.
Anti kolinesterase
Organofosfat
Inhibisi pada jaringan saraf asetilkolinesterase (AchE) terjadi, pada keadaan asetilkolin yang tinggi yang tidak dapat didegradasi dengan rangsangan berlebih.
Karbamat
Berbeda sedikit dalam gejala, karbamat manginhibisi AchE secara reversible, organofosfat menginhibisi menjadi lebih resisten.
Sumber : Ecobichon dalam Ruchirawat, 1996.
2. Herbisida
Herbisida berfungsi untuk mengendalikan dan membunuh gulma. Termasuk di dalamnya berbagai jenis ikatan kimia, seperti karbamat, phenol, triazines, anilin, asam amino dan lain-lain. Pada umumnya herbisida menunjukkan toksisitas yang rendah pada vertebrata, tetapi senyawa bispiridil atau biasa disebut sebagai paraquat dan diquat sangat beracun. Herbisida berupa asam kuat, amin, ester atau fenol yang dapat menimbulkan iritasi pada kulit dan dermatitis (Notodarmojo, 2005).
3. Fungisida
Bahan yang digunakan secara ekstensif sebelum dan sesudah panen, untuk mencegah terjadinya kerusakan pada tumbuhan akibat spora fungi, pada kondisi di bawah optimum terutama kelembaban dan temperatur. Fungisida biasanya menyebabkan efek akut pada manusia dengan LD50 : 800-10000 mg/kg berat badan. Bila terpapar oleh fungisida, maka akan terjadi iritasi dan dermatitis. Kebanyakan fungisida dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan, selaput lendir, membran mata, dan hidung. Semua bersifat sitotoksik, dan karena mutagenik dapat menyebabkan mutasi, kanker dan teratogenik. Beberapa fungisida yang umum digunakan adalah ditiokarbamat, terutama etilen bisditio karbamat kelompok yang didegredasi menjadi etilen tio urea yang diketahui sebagai anti tiroid, zat mutagenik, karsinogenik dan teratogenik. Merkuri organik beracun bagi hati, ginjal dan terutama pada sistem syaraf (pusat dan perifer). Salah satu diantaranya menyebabkan penyakit Minamata.
4. Rodentisida
Pengawasan binatang pengerat merupakan aspek yang sangat penting pada saat sebelum dan sesudah panen, juga untuk mengawasi penyakit. Rodentisida tersusun dalam berbagai struktur kimia yang mekanisme kerjanya juga bervariasi tergantung pada spesies yang menjadi targetnya. Bila secara kebetulan maupun sengaja termakan, rodentisida bisa mengakibatkan keracunan yang serius terutama karena dosisnya yang tinggi, sehingga menimbulkan gejala yang parah dan tidak ada antidotumnya. Beberapa jenis rodentisida adalah:
Zink phosphide (Zn3P2), merupakan rodentisida yang murah dan efektif, bila termakan ataupun bereaksi dengan air akan melepaskan phosphine, tidak stabil dan merupakan molekul reaktif yang menyebabkan kerusakan membrane sel.
Fluoro asetat, berbau dan berasa. Mudah terserap pada usus dan menginhibisi enzym, umumnya terhadap semua spesies yang termasuk dalam metabolisme glukosa, akhirnya menimbulkan efek terhadap jaringan yang menyimpan energi.
Alfa naftil tiourea, harus diaktifkan dalam jaringan agar reaktif dan merupakan racun sedang yang menyebabkan pelebaran cairan pada bagian luar sel yang berada pada paru-paru, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada peredaran darah.
Kumarin/indandion, adalah antikoagulan. Menyebabkan pendarahan pada hidung, saluran pencernaan dan juga persendian.
5. Fumigan
Fumigan merupakan kelompok zat yang dapat mudah menguap secara alamiah. Beberapa fumigan berada dalam bentuk gas pada temperatur ruang dan yang lain dalam bentuk cair dan padat. Fumigan umumnya mudah diserap oleh kulit, saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Bila mata terpapar oleh fumigan, maka akan menyebabkan korosi pada kornea. Absorbsi kulit akan menimbulkan edema pada paru-paru.
Pestisida memiliki cukup banyak dampak yang sangat merugikan bagi kehidupan manusia dan lingkungan pertanian. Bagaimana cara untuk tetap menggunakan pestisida, guna membantu mempertahankan produksi hasil panen namun tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, hasil panen dan berdampak buruk terhadap kesehatan. Perlu dipikirkan suatu manajemen dalam penggunaan pestisida secara baik dan benar.
PESTISIDA DI LINGKUNGAN
1. Masuknya Pestisida ke Dalam Tubuh Manusia
Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara :
Melalui saluran makanan.
Melalui saluran pernafasan.
Melalui kulit.
Keracunan Pestisida.
2. Residu Insektisida dalam Tanah
Penyemprotan pestisida akan berada di udara yang lama kelamaan akan jatuh ke tanah. Untuk jenis pestisida yang tidak mudah menguap akan berada di dalam tanah terutama dari golongan organoklorin karena sifatnya yang persisten. Walaupun pestisida di dalam tanah dapat diuraikan atau didegradasi oleh mikroorganisme. Seperti fenitrothion dapat terdegradasi oleh Bacillus subtilis menjadi aminofenitrothion. Sedangkan Falvobacterium sp. ATCC 27551 dan Trichoderma viride dapat mendegradasi menjadi 3-Methyl-4nitrophenol (Soemirat, 2003). Tanah di daerah Lembang dan di Gambung-Bandung mengandung residu jenis pestisida Klorpirifos dengan konsentrasi antara 0,136 ppm dalam tanah Lembang dan 0,699 ppm dalam tanah Bgambung ( Rosliana, 2001 ).
3. Residu Insektisida dalam Air
Pestisida yang disemprotkan dan yang sudah berada di dalam tanah dapat terbawa oleh air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air penerima, berupa sungai dan sumur. Beberapa penelitian mengenai kualitas air yang menekankan pada aspek pestisida ditemukan residu pestisida di irigasi daerah Sukapura Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung, pestisida golongan organofosfat jenis metamidofos, fenitrotion, dan satu jenis dari golongan organoklorin yaitu alpha – BHC ( Mulyatna, 1993). Hal ini tentunya berbahaya karena residu pestisida tersebut dapat masuk ke dalam tanaman pertanian misalnya padi yang menggunakan air irigasi tersebut. Dan di samping itu juga dapat merusak ekosistem perairan. Dalam air baku air minum juga ditemukan residu organofosfat jenis klorpirifos di Surabaya Intake Kali Surabaya : 3,15 ppm, di Bandung Intake Cikapundung : 0,29 ppm, di Jakarta Intake Ciliwung : 0,73 ppm dan di Tangerang Intake Cisadane : 0,36 ppm. Air dari Intake PDAM ini tentunya akan diolah kemudian didistribusikan kepada masyarakat. Yang dikhawatirkan adalah apabila unit pengolahan di PDAM tidak dapat mendegradasi insektisida, dan air tersebut akan digunakan sebagai air minum, yang tentunya akan berbahaya bagi kesehatan manusia.
4. Residu Insektisida di Udara
Pestisida dapat berada di udara setelah disemprotkan dalam bentuk partikel air (droplet) atau partikel yang terformulasi jatauh pada tujuannya. Kebanyakan penggunaan pestisida ini dilarutkan dengan air. Partikel pestisida berukuran 200 mm, dalam waktu 56 detik akan jatuh pada 21 m, sedangkan partikel dengan ukuran 50 mm jatuh 3 cm dalam waktu 3,5 detik (Soemirat, 2003). Di samping itu partikel / aerosol pestisida tersebut juga dapat jatuh pada tanaman, pada tanah, dan air.
5. Residu Insektisida pada Tanaman
Insektisida yang disemprotkan pada tanaman tentu akan meninggalkan residu. Residu insektisida terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang, daun, buah, dan juga akar. Khusus pada buah, residu ini terdapat pada permukaan maupun daging dari buah tersebut. Walaupun sudah dicuci , atau dimasak residu pestisida ini masih terdapat pada bahan makanan. Sebagai contoh residu insektisida golongan organofosfat pada berbagai jenis sayuran seperti bawang merah 1,167 – 0,565 ppm, kentang 0,125 – 4,333 ppm, cabe dan wortel mengandung : profenofos 6,11 mg/kg, detalmetrin 7,73 mg/kg, klopirifos 2,18 mg/kg, telubenzuron 2,89 mg/kg, permetrin 1,80 mg/kg (Soemirat, 2003). Tomat yang tidak dicuci mengandung profenofos rata –rata 0,096 mg/kg, sedangkan tomat yang dicuci masih mengandung 0,059 mg/kg. Insektisida karbofuran, klorpirifos dan lindan didistribusikan ke daun, batang, pada dan beras dan residu insektisida lindan merupakan residu yang tertinggi. Dengan demikian bahan pangan yang masih mengandung residu insektisida ini akan termakan oleh manusia dan tentunya dapat menimbulkan efek dan berbahaya terhadap kesehatan manusia.
6. Residu Pestisida di Lingkungan Kerja
Pestisida kebanyakan digunakan di pertanian, sehingga perlu sedikit diketahui bahwa insektisida ini dapat menimbulkan masalah kesehatan pekerja di pertanian atau petani termasuk juga pencampur pestisida. Kebanyakan petani di
Indonesiamengetahui bahaya pestisida, namun mereka tidak peduli dengan akibatnya. Banyak sekali petani yang bekerja menggunakan pestisida tidak menggunakan pengaman seperti masker, topi, pakaian yang menutupi seluruh tubuh dan lain – lain. Apabila alat pengaman tersebut tidak digunakan, pestisida ini dapat masuk ke dalam tubuh melaui kulit, saluran pernafasan. Hasil penelitian yang pernah dilakukan untuk menguji tingkat kesehatan penduduk akibat paparan organofosfat dan karbamat di daerah sentra produksi padi, sayuran, dan bawang merah menunjukkan bahwa aktivitas asetilkolinesterase kurang dari 4500 UI pada daerah petani di Kabupaten Brebes sebanyak 32,53% petani, di Cianjur 43,75% dan di Indramayu 40%. Aktivitas kolinesterase kurang dari 4500 UI ini merupakan indicator adanya keracunan kronis (Soemirat, 2003). Penelitian lain menunjukkan bahwa luas kulit yang terbuka akan mempengaruhi residu pestisida yang masuk kedalam tubuh melalui kulit. Bukan hanya petani, masyarakat yang tinggal di sekitar pertanian juga dapat terpapar oleh pestisida organofosfat. Eksposur insektisida ini dapat juga terjadi pada pekerja di industri insektisida, di Bangladesh 33,7% pekerja dari 265 pekerja yang terpapar insektisida memiliki aktivitas enzim asetilkolinesterase di bawah standar dan 12,5% dalam kondisi bahaya.
7. Tingkat Keracunan Pestisida jenis Insektisida
Menurut Pandit (2006), tingkat keracunan pestisida jenis insektisida dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
Acute poisoning, yaitu keracunan yang terjadi akibat masuknya sejumlah besar pestisida sekaligus ke dalam tubuh, missal kasus salah makan ataupun bunuh diri. Gejala dari keracunan akut, mual, muntah-muntah, sakit kepala, pusing, kebingungan/ panik, kejang otot, lemah otot, sawan.
Sub-acute poisoning, merupakan keracunan yang ditimbulkan oleh sejumlah kecil pestisida yang masuk ke dalam tubuh,namun terjadinya secara berulang-ulang.
Chronic poisoning, yaitu keracunan akibat masuknya sejumlah kecil pestisida dalam waktu yang lama dan pestisida mempunyai kecenderungan untuk terakumulasi dalam tubuh